Tuli, Buta, Gagu.


“kami akan selalu ingat,
bagaimana kami bisa lupa?”
- Argolawu, Stasiun Gambir, Juni 2025

Musim 2024/2025 menutup lembarannya dengan luka dalam bagi pandemen suporter di kabupaten Sleman. PSS Sleman yang dulu dielu-elukan sebagai salah satu simbol perlawanan dan kebanggaan tanah Mataram, kini resmi terjerembab ke Liga 2. Kebanggaan kami yang pernah disanjung karena atmosfer tribun dan gairah suporternya, harus tercatat di papan bawah peringkat ke‑17 dari 18 tim, hanya 34 poin dari 34 laga. Dengan hasil 11 kemenangan, 4 imbang, dan 19 kekalahan tentu itu tak cukup untuk bertahan di kompetisi tertinggi negeri ini.

Namun sejatinya, kami sadar ini bukan tragedi yang datang tiba-tiba. Degradasi ini bukan petir siang bolong di maguwoharjo. Ini adalah hasil dari luka yang dipelihara, dari pengabaian yang disengaja, dari arah yang tak pernah jelas. Ini adalah buah busuk dari manajemen yang tak peka, tak paham, tak peduli, hampa, kosong, hashh randue utek. Dasar “tuli, buta, gagu!”.

“Apa guna punya ilmu tinggi?
Kalau hanya untuk mengibuli.
Apa guna banyak baca buku?
Kalau mulut kau bungkam melulu.”

Mereka tuli. Tak mendengar jerit hati kami, para suporter yang setia berdiri di balik pagar tribun entah itu di Timur, Barat, Utara atau Selatan. Tak mendengar bisik peringatan kecil dari media, dari statistik, dari grafik yang terus melorottt..rottt. Partisan pendukung Super Elang Jawa jelas paling lantang bersuara, tapi apa? hanya dijawab dengan pernyataan hampa, sumbang seperti elang yang kehilangan arah terbang. Saat performa makin rapuh, saat peluang demi peluang terbuang, manajemen pilih membisu dalam bilik ruangan. Sepi senyap seperti tak ada niat untuk merayap apalagi bergerak.

Mereka buta. Tak mampu membaca data yang terpampang di mana-mana. Dalam 34 pertandingan, PSS Sleman mencetak 43 gol, namun kebobolan 50 gol. Rasio yang memang memalukan bagi klub medioker ini. Lini belakang keropos, lini depan seadanya, dan lagi-lagi tak ada solusi berarti yang diambil. Bahkan dengan pelatih kepala sementereng Pieter Huistra, tetap tak mampu berbuah banyak. Performa tim terus merosot (make sense, kekacauan yang terjadi sudah berlarut-larut). Bursa transfer? Dijalani tanpa arah. Tanpa peta. Tanpa kompas. Huftt…

Dan mereka gagu. Di tengah krisis, tak ada sepatah kata pun yang menguatkan. Tidak ada transparansi. Tidak ada penjelasan. Tidak ada harapan berarti yang disampaikan. Kami menunggu dan terus menunggu. Dapat dimisalkan PSS Sleman seperti kapal karam yang ditinggalkan nahkoda. Sementara itu di daratan, para suporter hanya bisa memandang nanar sembari bernyanyi lagu takkan menyerah dari kejauhan. Bahkan saat rivalitas memanas dan konflik horizontal  antar suporter membara, manajemen tetap bungkam, seolah semuanya bisa mereda sendiri.

Kini, segalanya telah terjadi. PSS Sleman tak lagi berada di singgasana kasta tertinggi. Mereka harus kembali merintis dari bawah, dari rumput tanah yang becek, dari stadion-stadion kecil yang tak gemerlap. Bukan hanya posisi yang hilang, tapi juga martabat, harga diri, dan kepercayaan.

Tuli, Buta, Gagu bukan sekadar istilah, itu adalah elegi. Sebuah sajak sedih tentang klub yang digagalkan sendiri oleh mereka yang seharusnya merawat klub ini.

Dan jika luka ini tak segera diobati, jika wajah-wajah lama tetap bercokol dengan kesalahan yang sama, maka Liga 2 pun bisa menjadi liang kubur. Bukan tempat untuk bangkit, tapi ruang untuk terpendam.

Sudah saatnya angin baru bertiup. Sudah waktunya merawat klub ini dengan hati, bukan hanya rencana bisnis dan mengambil alih kendali. Karena PSS Sleman bukan milik ruang rapat, bukan milik saham, dan bukan milik tambang! PSS Sleman adalah milik rakyat. Milik suara tribun. Milik anak-anak muda yang tumbuh besar dengan syal rajut hijau di lehernya dan harapan besar akan klub ini di dadanya.

Dan bila suara-suara ini tetap diabaikan, 
maka jangan heran jika semburat nyala api itu dinyalakan,
maka jangan heran jika kami terus melawan,
maka jangan heran jika stadion yang megah itu kelak cuma jadi bangunan kosong tanpa secercah harapan,
ramai tapi sepi 
berisik tapi sunyi
sampai hanya tersisa sebagian dari kami yang tetap disini.

“Ku bernyanyi dalam sunyi teriak tanpa sorak semua tentangmu akan selalu ku rindu”

Share Article :

Related Article

Other Articles

Kriiingg…Tagihan Awal Musim

Sebagai wadah pendukung PSS yang berasal dari ragam daerah, atau bahkan beberap tumbuh besar di luar lingkup Sleman dan sekitarnya sedari kecil, kami menilai~

Our Stance

We've decided our stance, for PSS Sleman.

"Gate of Joy", Menjaga Nyala di Teras Tribun

Menelisik di balik movement Gate of Joy. Oleh NN-SJ

Hidup dan Mati di Tanah Madura : PSS Sleman Menuju Pertempuran.

Between a crucial stage of life. Oleh NN-SJ.

Eternal Love for The Badge

“I’m gonna love you till the heaven stops the rain”. oleh Joawofelix.

SEKALI BAJINGAN, TETAP BAJINGAN!

SEKALI BAJINGAN, TETAP BAJINGAN! oleh SJ-NN

Defend Maguwoharjo.

kami tak datang membawa amarah, kami datang membawa tanya.

Ketika Rumah Tak Lagi Hanya Soal Tembok dan Tiang: Sebuah Tafsir tentang Identitas, Rivalitas, dan Realitas

oleh Ceria

Rose from The Dead

Kita tak akan kalah lagi. Tak boleh kalah lagi. oleh Tribun Utara

DIBUTUHKAN: RUMAH ATAU KONTRAKAN JANGKA PANJANG

Ditulis oleh YB

Tiga Warna, Satu Luka

Hari ini, mari kita bicara tentang tiga warna itu: pink, hijau, dan biru.