Tiga Warna, Satu Luka


Sejarah sebuah bangsa tidak hanya ditulis dengan tinta dan kertas. Ia juga ditulis dengan warna—warna yang lahir dari keresahan rakyat, berkibar di jalanan, menyala di dada mereka yang menolak tunduk pada ketidakadilan. Tiga kali negeri ini menyaksikan kelahiran warna baru. Tiga kali pula rakyat menaruh harapan pada sebuah palet perjuangan. Namun tiga kali itu pula, luka lama tetap terbuka: politik tetap berputar dalam lingkaran yang sama, kekuasaan tetap membusuk di tangan yang enggan melepaskan.

 

Hari ini, mari kita bicara tentang tiga warna itu: pink, hijau, dan biru. Mereka bukan sekadar cat di spanduk atau pita di lengan. Mereka adalah bahasa emosi, simbol dari tekad, sekaligus gambaran tentang bagaimana masyarakat mencoba melawan di tengah badai ketidakpastian.

Bukan merah, tapi pink. Warna yang lembut, manis, dan sering direduksi sebagai simbol kelembutan. Namun di baliknya, pink lahir sebagai warna keberanian. Bukan keberanian yang berteriak dengan amarah, melainkan keberanian yang berakar dari cinta. Cinta pada tanah air, cinta pada sesama manusia, cinta pada harapan bahwa masa depan bisa lebih adil.

 

Pink mengajarkan kita bahwa perlawanan tidak selalu harus keras kepala. Ia bisa manis, bisa hangat, tetapi tetap teguh. Dalam konteks instabilitas politik, pink menjadi pengingat bahwa keberanian melawan tirani tidak harus kehilangan kemanusiaan. Justru dengan keberanian yang penuh cinta, rakyat bisa menolak untuk dipecah-belah, menolak untuk dijadikan musuh satu sama lain.

 

Namun, seperti sejarah yang sering berulang, pink hanya menjadi gelombang. Ia muncul, ia menggema, ia menyentuh banyak hati—tetapi setelahnya, struktur lama tetap bercokol. Para penguasa masih bermain di meja yang sama, masih berbagi kue kekuasaan, sementara rakyat kembali menunggu dengan dada sesak.

Kemudian lahirlah hijau—warna yang tak bisa dilepaskan dari makna kepahlawanan. Hijau adalah warna bumi, warna daun yang tumbuh kembali meski ditebang berkali-kali. Dalam gerakan sosial, hijau merepresentasikan semangat untuk menjadi pahlawan di masa krisis. Bukan pahlawan tunggal dengan jubah gagah, melainkan pahlawan kolektif: rakyat biasa yang turun ke jalan, mahasiswa yang bersuara di mimbar, ibu-ibu yang menyelipkan nasi bungkus untuk para demonstran.

 

Hijau melambangkan bahwa dalam masa instabilitas politik, harapan selalu ada pada keberanian rakyat untuk menolong satu sama lain. Ia adalah warna gotong royong, warna solidaritas yang menolak menyerah.

 

Tetapi lagi-lagi, hijau pun bernasib sama. Meski gerakan kepahlawanan muncul, meski banyak yang berkorban, hasil akhirnya sering kali direbut oleh elite. Hijau menjadi simbol pengorbanan, namun pengorbanan itu tidak selalu menghasilkan perubahan yang nyata.

Dan kini, kita mengenal biru—warna perlawanan. Biru adalah langit yang luas, samudera yang dalam, sekaligus dingin yang menusuk tulang. Biru hadir sebagai bentuk resistensi yang lebih terstruktur: penolakan terhadap kebusukan politik yang tak kunjung usai, perlawanan terhadap praktik-praktik kekuasaan yang semakin jauh dari rakyat.

 

Biru menandai era di mana masyarakat tidak hanya marah, tetapi juga mulai mencari bentuk strategi. Ia bukan sekadar ekspresi, tetapi juga arah. Biru mengajarkan bahwa resistensi harus punya kedalaman, harus mampu bertahan lama, seperti samudera yang tak pernah habis digerus ombak.

 

Namun, meski biru telah berkibar, keadaan negeri ini tetap tak banyak berubah. Resistensi sering kali dipatahkan dengan janji manis, dibungkam dengan aparat, atau disesatkan dengan propaganda. Biru, sama seperti pink dan hijau, menjadi warna yang indah namun belum berhasil melukis ulang wajah bangsa.

 

Tiga kali warna lahir, tiga kali rakyat berharap. Pink memberi keberanian, hijau melahirkan kepahlawanan, biru menyulut resistensi. Tapi tiga kali pula kita diingatkan bahwa warna saja tidak cukup. Gerakan yang berlandaskan warna hanya akan menjadi festival sesaat jika tidak diikuti dengan kesadaran politik yang mendalam, dengan strategi jangka panjang, dengan keberanian untuk menolak kompromi yang mengorbankan rakyat.

 

Warna-warna ini adalah cermin: ia menunjukkan betapa kuatnya rakyat dalam melawan, tapi juga betapa licinnya kekuasaan dalam menetralkan setiap gerakan.

Hari ini, kita harus bertanya: apa artinya semua warna ini, jika kondisi tetap sama? Apakah bangsa ini hanya akan terus melahirkan simbol baru, sementara struktur lama tetap tak tergoyahkan? Apakah kita akan terus mengganti pita di lengan, tanpa pernah benar-benar merebut kendali masa depan kita sendiri?

 

Pink, hijau, biru—tiga warna yang telah mewarnai sejarah perlawanan rakyat. Namun yang kita butuhkan bukan sekadar warna baru, melainkan kesadaran baru. Bahwa perubahan tidak bisa hanya bergantung pada simbol, melainkan pada keberanian untuk mengubah sistem, untuk membongkar akar masalah, untuk menciptakan demokrasi yang benar-benar hidup di tangan rakyat.

 

Sebab pada akhirnya, warna hanyalah tanda. Yang membuatnya bermakna adalah aksi yang berkelanjutan. Tanpa itu, kita akan terus berada di lingkaran yang sama: tiga kali warna lahir, tetapi luka bangsa ini tetap tak kunjung sembuh.

Tiga kali warna baru hadir, tiga kali pula rakyat menaruh harapan. Namun negeri masih berada di titik yang sama, seolah berjalan di lingkaran yang tak berujung. Palet boleh berganti, tapi jika kuasnya tetap dipegang oleh tangan yang sama, hasil lukisan tak akan pernah berubah.

 

Kini, pertanyaannya sederhana: maukah kita berhenti menunggu warna baru, dan mulai melukis warna kita sendiri?

 

Karena bangsa yang besar bukanlah bangsa yang hanya menjadi penonton pergantian warna, melainkan bangsa yang berani menciptakan warnanya sendiri.


Ditulis oleh NN-SJ
Visual dan Tata Letak oleh Ray
Dipublikasikan melalui 115Roots.

Share Article :

Related Article

Other Articles

Kriiingg…Tagihan Awal Musim

Sebagai wadah pendukung PSS yang berasal dari ragam daerah, atau bahkan beberap tumbuh besar di luar lingkup Sleman dan sekitarnya sedari kecil, kami menilai~

Our Stance

We've decided our stance, for PSS Sleman.

"Gate of Joy", Menjaga Nyala di Teras Tribun

Menelisik di balik movement Gate of Joy. Oleh NN-SJ

Hidup dan Mati di Tanah Madura : PSS Sleman Menuju Pertempuran.

Between a crucial stage of life. Oleh NN-SJ.

Eternal Love for The Badge

“I’m gonna love you till the heaven stops the rain”. oleh Joawofelix.

SEKALI BAJINGAN, TETAP BAJINGAN!

SEKALI BAJINGAN, TETAP BAJINGAN! oleh SJ-NN

Tuli, Buta, Gagu.

“kami akan selalu ingat, bagaimana kami bisa lupa?” oleh AP

Defend Maguwoharjo.

kami tak datang membawa amarah, kami datang membawa tanya.

Ketika Rumah Tak Lagi Hanya Soal Tembok dan Tiang: Sebuah Tafsir tentang Identitas, Rivalitas, dan Realitas

oleh Ceria

Rose from The Dead

Kita tak akan kalah lagi. Tak boleh kalah lagi. oleh Tribun Utara

DIBUTUHKAN: RUMAH ATAU KONTRAKAN JANGKA PANJANG

Ditulis oleh YB