Kriiingg…Tagihan Awal Musim
Sebagai wadah pendukung PSS yang berasal dari ragam daerah, atau bahkan beberap tumbuh besar di luar lingkup Sleman dan sekitarnya sedari kecil, kami menilai~
Maguwo bukan sekadar stadion.
Tetapi tanah yang disiram suara dan setia.
Sepak bola Indonesia tengah sibuk berdandan.
Transfer pemain jadi obrolan harian.
Hampir setiap klub berlomba tampil percaya diri,
membangun ulang kekuatan, menjual mimpi pada pendukungnya.
Tapi PSS Sleman?
Masih terdiam di sudut.
Tak ada pengumuman resmi, tak ada rumor yang meyakinkan.
Seolah klub ini sedang tidur di tengah pasar yang bising.
Namun, yang lebih membuat kami—pendukung PSS—mengernyit,
bukan hanya minimnya kabar soal transfer pemain,
melainkan satu isu yang terasa jauh lebih prinsipil:
isu peminjaman Stadion Maguwoharjo.
Tim seberang dikabarkan tak bisa lagi menggunakan stadion utamanya.
Entah karena izin, entah karena syarat lisensi.
Solusinya? Menumpang di Stadion Maguwoharjo.
Kabar ini menyebar seperti api menyambar ilalang kering.
Cepat, panas, dan bikin gelisah.
Bukan karena kami tak ingin menolong,
tapi karena kami tahu betul arti dari sebuah rumah.
Maguwoharjo bukan stadion kosong.
Maguwoharjo bukan sekadar tiang lampu, rumput lapangan, dan papan skor.
Maguwoharjo adalah tempat kami tumbuh sebagai suporter.
Tempat kami belajar bahwa mendukung bukan sekadar hadir,
tapi tentang merawat, menjaga, dan mencintai.
Setiap tribun di sana pernah kami warnai dengan nyanyian,
setiap lorongnya menyimpan cerita:
tentang loyalitas, tentang kecewa yang tetap pulang,
tentang cinta yang tak selalu dimengerti oleh angka dan data.
Dan kini,
tempat yang kami jaga bertahun-tahun,
akan dibuka untuk mereka yang tak berjalan bersama kami.
Yang bahkan dalam sejarahnya, berdiri di sisi yang berbeda.
Yang datang bukan untuk tumbuh bersama,
tapi sekadar numpang bertanding—sementara kami yang punya rumah tak diajak bicara.
Kami tidak bicara atas dasar benci.
Kami tidak bicara karena fanatisme kosong.
Kami bicara karena kami tahu:
rasa memiliki tidak bisa dibagi seenaknya.
Tolong pikirkan ulang.
Bukan hanya soal boleh atau tidak,
tapi soal pantas atau tidak.
Karena rumah bukan sekadar ruang—
ia adalah bagian dari identitas.
Apakah tidak ada jalan lain?
Apakah semua pihak sudah benar-benar mendengar suara mereka yang tiap pekan mengisi tribun?
Apakah keputusan ini lahir dari kebutuhan,
atau dari ketergesaan?
Maguwoharjo adalah simbol.
Simbol bahwa Sleman punya tanah yang dijaga sendiri.
Simbol bahwa sepak bola tak melulu soal skor akhir,
tapi soal ikatan antara klub, tempat, dan rakyatnya.
Jika hari ini Maguwoharjo bisa dipinjamkan tanpa pertimbangan rasa,
apa yang akan terjadi lima tahun dari sekarang?
Ketika identitas bukan lagi hal yang penting,
dan loyalitas dianggap remeh karena tak menghasilkan rupiah?
Kami hanya ingin satu hal:
Jangan permainkan rumah kami.
Jangan tukar sejarah kami dengan solusi praktis.
Kami tak menolak kerja sama,
tapi jangan paksa kami mengalah di tempat yang selama ini kami hidupkan.
Defend Maguwoharjo.
Karena setia tak butuh pengakuan,
tapi juga tak pantas dilupakan.
Kepada semua yang punya wewenang dan kekuasaan,
kami tak datang membawa amarah,
kami datang membawa tanya:
Sudahkah kalian benar-benar berpikir matang?
Sudahkah kalian menimbang suara yang tak tercatat dalam rapat,
tapi selalu hadir di tribun—di setiap detik sejarah klub ini?
-Pendukung setiamu,
Anak Tepi Kali Krasak.
Sebagai wadah pendukung PSS yang berasal dari ragam daerah, atau bahkan beberap tumbuh besar di luar lingkup Sleman dan sekitarnya sedari kecil, kami menilai~
We've decided our stance, for PSS Sleman.
Menelisik di balik movement Gate of Joy. Oleh NN-SJ
Between a crucial stage of life. Oleh NN-SJ.
“I’m gonna love you till the heaven stops the rain”. oleh Joawofelix.
SEKALI BAJINGAN, TETAP BAJINGAN! oleh SJ-NN
“kami akan selalu ingat, bagaimana kami bisa lupa?” oleh AP
oleh Ceria
Kita tak akan kalah lagi. Tak boleh kalah lagi. oleh Tribun Utara
Ditulis oleh YB
Hari ini, mari kita bicara tentang tiga warna itu: pink, hijau, dan biru.