Ketika Rumah Tak Lagi Hanya Soal Tembok dan Tiang: Sebuah Tafsir tentang Identitas, Rivalitas, dan Realitas


Pada saat jemari ini menari di atas papan ketik, batin saya masih digelayuti kabut kebimbangan. Seperti pelaut yang tak menemukan bintang penuntun, kita, para pencinta sepak bola kerap kali terjebak dalam arus deras ketidakpastian yang berputar tanpa muara. Kita dibenturkan— bukan oleh musuh dari luar, melainkan oleh sesama, oleh cermin yang memantulkan bayang kita sendiri: sesama pecinta sepak bola, sesama pewaris gairah, namun berbeda warna. 

Angin informasi yang bertiup akhir-akhir ini membawa kabar yang hampir pasti: bahwa Stadion Maguwoharjo—tempat yang dalam narasi kolektif masyarakat Sleman telah lama disebut “rumah”—akan dihuni oleh tim lain. Tapi, apa arti “rumah” jika atapnya bisa disewakan dan lantainya diinjak-injak bukan oleh mereka yang menganyam kisah di dalamnya? Apakah masih bisa dikatakan sebagai rumah jika harus berbagi jiwa? Sebuah pertanyaan yang lebih filosofis daripada praktis, namun mendesak untuk dijawab. 

Dalam dimensi praktikal, Sri Sultan Hamengkubuwono X, sosok yang berdiri sebagai penjaga otoritas dan kearifan lokal, telah menyampaikan dengan gamblang bahwa Stadion Maguwoharjo bukanlah milik satu kabupaten semata, melainkan entitas publik yang keberadaannya dapat diakses oleh siapa pun selama memenuhi syarat administratif—alias mampu membayar sewa. Dalam logika kebijakan publik, itu sah. Namun dalam logika emosi, dalam rumus perasaan yang tak bisa dipecahkan hanya dengan angka dan prosedur, pernyataan itu menyisakan retakan. 

Maguwoharjo, dalam tatanan hukum administrasi, memang masih dalam genggaman UPTD— Unit Pelaksana Teknis Daerah. Artinya, PSS Sleman sebagai klub belum sepenuhnya memiliki hak eksklusif. Tak seperti Bhayangkara FC yang bermain di stadion milik institusinya, atau Bali United yang mengunci masa depan dengan kontrak panjang, PSS masih menumpang di rumah sendiri. Apakah suatu saat PSS bisa membangun benteng miliknya sendiri, atau setidaknya mengikatnya dalam ikatan kontrak jangka panjang yang kokoh? Entah. Tapi harapan, seperti rumput yang tumbuh di sela-sela retakan beton, selalu menemukan jalannya. 

Ada bait chant yang selalu menggema dari tribun selatan, lebih sakral dari dokumen perjanjian mana pun: “Kami pendukung Super Elja, Tribun Selatan Maguwo. Panjang umur kau saudaraku, cinta PSS selalu.” Di balik kata-kata itu tersimpan marwah, kenangan, dan harga diri. Ini bukan tentang kebencian terhadap tim lain. Ini tentang menjaga agar sejarah tidak dikubur oleh kebutuhan sesaat. Ini tentang mempertahankan ruang suci yang menjadi saksi bisu jatuh bangun kita dalam suka dan luka. 

Dan jika nanti benar terjadi—stadion ini dipakai oleh pihak lain—maka satu permohonan sederhana namun bermakna kami titipkan: biarkan Tribun Selatan tetap sunyi, tetap perawan dari jejak yang tak mengerti makna setiap degup yang pernah bergetar di sana. 

Namun, seperti dalam setiap sistem tertutup, ada kemungkinan kerusakan. Dan ketika itu terjadi, siapa yang akan memikul tanggung jawab? Maka sorotan harus diarahkan pada Panitia Pelaksana (Panpel)—entitas yang kinerjanya, harus diakui, masih jauh dari kata ideal. Ini bukan caci maki. Ini kritik sebagai bentuk cinta. Kritik sebagai perangkat reflektif untuk menciptakan sistem yang lebih resilien. Jika beban terlalu berat, maka solusi ekstrem pun bisa dipertimbangkan: penggunaan tanpa kehadiran penonton. 

Lebih dari sekadar klub dan pertandingan, PSS adalah simpul ekonomi, sosial, bahkan spiritual. Ia memberi kehidupan bagi pedagang kecil, tukang parkir, dan penggiat ekonomi mikro di sekitarnya. Setiap pertandingan adalah denyut nadi kota, bukan sekadar tontonan, melainkan perputaran nilai dan harapan. 

Saya, sebagai seorang yang mencintai kedamaian dan keteraturan, tak pernah menginginkan konflik. Perpecahan adalah hasil dari komunikasi yang gagal, dari egosentrisme yang tak mampu mendengar. Islah—rekonsiliasi—adalah tujuan mulia, namun jalan menuju ke sana tak pernah mulus. Ia butuh pengorbanan, empati, dan kesediaan untuk menahan diri. Islah bukanlah hasil dari satu pihak yang mengalah, tapi buah dari kesepahaman yang panjang. 

Maka, jika benar kita ingin hidup berdampingan, saling menghargai bukan hanya berarti aku membolehkan dan kau menerima. Ia lebih dari itu. Ia adalah sikap saling memahami bahwa ada nilai-nilai yang tak tertulis, namun tak ternilai. Dan kita semua, dalam peran apa pun— supporter, pengurus, atau pemangku kebijakan—memegang tanggung jawab untuk menjaganya. 

 

Spread love and make terrace be a peaceful place~

Share Article :

Related Article

Other Articles

Kriiingg…Tagihan Awal Musim

Sebagai wadah pendukung PSS yang berasal dari ragam daerah, atau bahkan beberap tumbuh besar di luar lingkup Sleman dan sekitarnya sedari kecil, kami menilai~

Our Stance

We've decided our stance, for PSS Sleman.

"Gate of Joy", Menjaga Nyala di Teras Tribun

Menelisik di balik movement Gate of Joy. Oleh NN-SJ

Hidup dan Mati di Tanah Madura : PSS Sleman Menuju Pertempuran.

Between a crucial stage of life. Oleh NN-SJ.

Eternal Love for The Badge

“I’m gonna love you till the heaven stops the rain”. oleh Joawofelix.

SEKALI BAJINGAN, TETAP BAJINGAN!

SEKALI BAJINGAN, TETAP BAJINGAN! oleh SJ-NN

Tuli, Buta, Gagu.

“kami akan selalu ingat, bagaimana kami bisa lupa?” oleh AP

Defend Maguwoharjo.

kami tak datang membawa amarah, kami datang membawa tanya.

Rose from The Dead

Kita tak akan kalah lagi. Tak boleh kalah lagi. oleh Tribun Utara

DIBUTUHKAN: RUMAH ATAU KONTRAKAN JANGKA PANJANG

Ditulis oleh YB

Tiga Warna, Satu Luka

Hari ini, mari kita bicara tentang tiga warna itu: pink, hijau, dan biru.