SEKALI BAJINGAN, TETAP BAJINGAN!


Kami tidak minta juara. Kami tidak minta trofi.
Kami hanya minta kejujuran, tanggung jawab, dan sedikit saja keberanian untuk bilang, “Kami gagal.”
Tapi tidak, yang kami terima hanya bisu dan senyum palsu.
Yang kami lihat hanya tangan-tangan rakus yang tetap erat menggenggam kekuasaan, seolah degradasi hanyalah berita ringan, bukan petaka yang kalian ciptakan sendiri.

Musim lalu bukan sekadar luka. Ia adalah pengkhianatan.
Dari satu laga ke laga berikutnya, kami menonton mimpi kami dikuliti hidup-hidup.
Pelatih datang dan pergi seperti pemain sandiwara.
Sistem tidak berjalan, strategi tanpa arah, dan skuad seperti dikumpulkan sekadarnya—asal ada.
Apa ini yang kalian sebut profesional?
Apa ini yang kalian banggakan dari balik meja kantor berpendingin udara?

Di stadion, kami bernyanyi sambil menggigil.
Bukan karena hujan, tapi karena harapan kami yang terus menerus dibekukan.
Sleman kalah di kandang sendiri, berkali-kali.
Dan kalian—yang punya kuasa—tidak merasa bersalah sedikitpun.
Tak ada evaluasi. Tak ada permintaan maaf.
Tak ada wajah yang mundur demi harga diri.
Hanya wajah-wajah yang tetap tersenyum, seolah ini semua hal biasa.

Satu demi satu janji-janji kalian menjadi abu.
Janji naik peringkat.
Janji stabilitas tim.
Janji manajemen yang katanya lebih rapi dari musim-musim sebelumnya.
Omong kosong. Semuanya hanyalah kata-kata yang dilempar ke udara, menguap sebelum sempat kami tangkap dengan percaya.

Dan yang lebih menyakitkan, ketika semuanya telah hancur,
kalian tetap duduk di posisi yang sama.
Tanpa rasa malu, tanpa rasa bersalah,
kalian menganggap klub ini milik pribadi, bukan milik rakyat Sleman.

Sungguh, kami muak.
Muak pada diamnya kalian.
Muak pada cara kalian meremehkan rasa cinta yang telah kami beri dengan tulus,
bertahun-tahun, dari tribun ke tribun, dari musim ke musim.

Hari ini, menjelang musim baru, tidak ada kabar yang melegakan.
Tidak ada roadmap, tidak ada penyegaran.
Hanya keheningan yang mencekam—
dan keheningan itu lebih menyakitkan daripada seribu kekalahan.

Kami bukan boneka yang hanya disuruh mendukung.
Kami bukan kerumunan yang bisa dibungkam dengan satu unggahan media sosial.
Kami adalah jiwa klub ini.
Dan kami tidak akan diam melihat kalian mempermainkannya.

Kalau kalian masih punya malu,
kalau kalian masih merasa pernah mencintai klub ini,
seharusnya kalian sudah pergi sejak lama.
Tapi jika tidak, biarkan kami yang mengusir.
Dengan nyanyian yang tak lagi lembut.
Dengan teriakan yang tak lagi bersahabat.

Karena Sleman bukan milik bajingan.
Dan PSS bukan panggung untuk orang-orang yang tak tahu diri.
Kalian mungkin bisa bersembunyi di balik jabatan,
tapi sejarah akan mencatat:
kalianlah yang menjatuhkan kami ke dasar.

Sekali bajingan, tetap bajingan!

Share Article :

Related Article

Other Articles

Kriiingg…Tagihan Awal Musim

Sebagai wadah pendukung PSS yang berasal dari ragam daerah, atau bahkan beberap tumbuh besar di luar lingkup Sleman dan sekitarnya sedari kecil, kami menilai~

Our Stance

We've decided our stance, for PSS Sleman.

"Gate of Joy", Menjaga Nyala di Teras Tribun

Menelisik di balik movement Gate of Joy. Oleh NN-SJ

Hidup dan Mati di Tanah Madura : PSS Sleman Menuju Pertempuran.

Between a crucial stage of life. Oleh NN-SJ.

Eternal Love for The Badge

“I’m gonna love you till the heaven stops the rain”. oleh Joawofelix.

Tuli, Buta, Gagu.

“kami akan selalu ingat, bagaimana kami bisa lupa?” oleh AP

Defend Maguwoharjo.

kami tak datang membawa amarah, kami datang membawa tanya.

Ketika Rumah Tak Lagi Hanya Soal Tembok dan Tiang: Sebuah Tafsir tentang Identitas, Rivalitas, dan Realitas

oleh Ceria

Rose from The Dead

Kita tak akan kalah lagi. Tak boleh kalah lagi. oleh Tribun Utara

DIBUTUHKAN: RUMAH ATAU KONTRAKAN JANGKA PANJANG

Ditulis oleh YB

Tiga Warna, Satu Luka

Hari ini, mari kita bicara tentang tiga warna itu: pink, hijau, dan biru.