Kriiingg…Tagihan Awal Musim
Sebagai wadah pendukung PSS yang berasal dari ragam daerah, atau bahkan beberap tumbuh besar di luar lingkup Sleman dan sekitarnya sedari kecil, kami menilai~
Pendahuluan: Klub Bola dan Warga yang Sama-Sama Tak Punya Rumah
PSS Sleman memiliki problem yang sama seperti masyarakat pada umumnya: kesulitan memiliki rumah. Pemasukan kecil dan minimnya kontribusi Pemerintah semakin membuat sulit akses terhadap hunian layak. Apalagi ditambah dengan inflasi properti. Sama halnya dengan masyarakat yang UMR-nya rendah, PSS pun juga dihadapkan dengan hal yang sama, pemasukan rendah. Alhasil, kontrakan jadi solusi. Tinggal ngontrak dalam jangka pendek (tanpa kepastian hukum dan kepemilikan) bukan hanya simbol keterbatasan ekonomi, tapi juga representasi dari hidup yang terus-menerus dalam status “sementara”. Laskar Sembada sebenarnya tidak hanya miskin dalam arti finansial, tapi juga secara multidimensional. Kalau bicara soal prestasi, banyak orang lupa bahwa sepak bola profesional juga sangat ditentukan oleh kode pos. Ya, lokasi. “Dimana klub itu berasal, ada perusahaan besar apa disekitar situ, ada crazy rich siapa disekitar situ, bagaimana daya tarik industrinya?”
Dalam studi oleh Jones dan Jordan (2019), mereka menunjukkan secara kuantitatif bahwa klub-klub yang berasal dari kota besar dan wilayah aglomerasi industri memiliki performa lebih tinggi secara konsisten. Kenapa? Karena kota besar menawarkan semuanya: pasar tenaga kerja yang menarik pemain top, akses sponsor, dan ekosistem ekonomi yang menopang investasi. Pembangunan infrastruktur jadi lebih maju. Di kota seperti London dan Manchester, pemain top datang bukan cuma karena gaji, tapi karena gaya hidup, sekolah anak, pasangan, bahkan peluang bisnis. Sementara klub-klub dari kota kecil? Harus gigit jari. Daya tariknya? Ya, mungkin pendidikan, keindahan alam dan wisata ketimpangan. Sleman bukan kota industri. Bukan pusat keuangan, bukan aglomerasi dagang. Bahkan jika dilihat dari struktur ekonomi regional, Sleman lebih dikenal sebagai kabupaten pariwisata dengan upah minimum rendah, struktur ekonomi berbasis pendidikan dan menjamur sektor informal. Maka jangan kaget kalau PSS selalu disebut “klub semenjana” karena dari struktur spasial dan ekonomi, memang itulah posisinya.
Sebenarnya, dari diskusi-diskusi panjang, ada dua opsi sebagai upaya keluar dari kutukan klub semenjana. Pengembangan akademi dan punya stadion sendiri. Poin pertama, itu ranah Wagimin. Saya akan fokus pada poin kedua. Ada juga jalur shortcut: berharap durian runtuh dari pemilik super kaya yang iseng-iseng membeli klub. Tapi ternyata tanpa sinergitas dengan pemerintah daerah ternyata sulit juga terwujud. Apalagi kalau sistim pengelolaan klubnya delegasi.
Stadion Sewaan: Tak Otonom, Minim Kontrol
Selain suporternya, PSS juga menganut filosofi 90++ utamanya dalam perkara stadion. Setiap musim, setiap pertandingan, klub harus ngontrak. Bukan dengan kontrak jangka panjang, tapi per 90 menit++. Implikasinya banyak: klub tidak punya hak penuh atas jadwal, kesulitan memanfaatkan stadion untuk agenda lain diluar laga, dan tidak punya kuasa atas aspek vital. Lebih menyakitkan lagi: potensi pemasukan dari matchday, penyewaan kios, konser, dan sponsor ruang di stadion, semuanya tidak dapat dimaksimalkan dengan baik. Klub yang tidak memiliki stadion, sama seperti pedagang kaki lima yang menyewa lapak harian di pasar yang dikuasai pihak lain. Untungnya sedikit. Tidak bisa renovasi, tidak bisa menambah fasilitas, dan selalu waswas digeser kapan saja.
Jika kita dapat berimajinasi dengan lebih liar, memiliki stadion sendiri itu tidak terlalu utopis-utopis sekali. Karena kita tidak punya imajinasi yang cukup tentang stadion sendiri, kita kadang hanya dapat membayangkan secara kasar. Bahkan, terkadang merasa bersyukur diberi hak sewa stadion hasil korupsi. Pembangunan stadion tidak selalu harus membebani APBD. Di beberapa Negara, stadion justru dibangun melalui kombinasi dukungan politik lokal, inisiatif klub, dan skema pembiayaan kreatif.
Di Italia, dalam studi Lekakis (2019), proyek pembangunan Juventus Stadium adalah hasil dari koalisi informal antara klub, pejabat kota Turin, politisi regional, pengembang properti, dan bank publik. Tentu, ada peran pengaruh pemilik klub disana. Koalisi informal tersebut membuat Juventus mendapatkan izin alih fungsi stadion Delle Alpi, serta kredit lunak dari bank publik yang biasa membiayai fasilitas olahraga. Di sisi lain, pemerintah kota mendapatkan manfaat politik: proyek ini ditampilkan sebagai simbol regenerasi pasca-Olimpiade 2006. Bila kita tarik dalam ranah Sleman, kita punya Bupati yang sepertinya punya energi berlebih untuk PSS. Terhitung, Pak Bupati ini menyambangi pemilik klub yang merupakan orang terkaya nomor 7 di Indonesia pada tahun 2024. Total kekayaannya Rp114,1 triliun (asumsi kurs Rp16.300 per USD). Kekayaan owner sebesar Rp114 triliun tersebut jika dibagikan rata ke setiap kursi di Stadion Maguwoharjo (20.595 kursi), setiap kursi akan memuat sekitar Rp5,54 miliar. Jika disusun rata di lapangan sepakbola dalam bentuk pecahan Rp100 ribu bisa menutupi sekitar 16.000 lapangan sepak bola! Koalisi Informal antara Bupati dan Owner ini masih ditambah lagi dengan legislator-legislator daerah yang suka sama PSS dan freelance-freelance politik yang sekarang merapat di kekuasaan.
Rebeggiani (2006) dalam studinya menjelaskan, di Jerman beberapa klub Bundesliga membangun stadion melalui skema pembiayaan kreatif: kombinasi antara pinjaman bank, jaminan pemerintah daerah, pendapatan masa depan atau asset-backed securities seperti pemasukan pertandingan, penamaan stadion, konser, tiket musiman, sewa ruang komersial dalam stadion dan kerja sama dengan sponsor. Dalam banyak kasus, Pemerintah tidak memberi uang tunai langsung, tapi menyediakan insentif seperti lahan murah, infrastruktur pendukung, atau jaminan kredit. Ini adalah bentuk “financial engineering” modern, dimana stadion dianggap sebagai aset produktif yang bisa dijadikan jaminan pinjaman komersial. Skema ini umum di stadion-stadion seperti Schalke 04, Hamburg, dan Stuttgart. Bahkan Bayern München, dalam pembangunan Allianz Arena, membentuk perusahaan khusus (SPV) bersama TSV 1860 München dan mengandalkan pinjaman bank yang didukung oleh komitmen sponsor jangka panjang dan penjualan tiket. Selain itu, Union Berlin juga menunjukan bahwa hak penuh atas stadion mendorong stabilitas keuangan klub dan bahkan mampu mendongkrak mereka untuk promosi dan berlaga di kompetisi eropa. Freiburg yang merupakan klub yang berasal bukan dari kota industri, bahkan diberikan sewa sampai 99 tahun. Model ini memperlihatkan bahwa stadion bisa diposisikan sebagai aset ekonomi strategis, bukan sekadar tempat bertanding. Dengan keterlibatan klub, sponsor, dan otoritas publik secara proporsional, stadion menjadi instrumen regenerasi kawasan dan sumber pendapatan jangka panjang bagi klub dan membentuk finansial yang lebih sehat.
Mitos Representasi: PSS Bukan Prioritas, Hanya Penyewa Jangka Pendek
Pola yang sama bisa direplikasi di Indonesia, termasuk di Sleman. Klub seperti PSS tidak harus membangun stadion sendirian. Pemerintah daerah bisa membebaskan lahan atau memberikan status hak kelola jangka panjang. Klub dengan koalisi informal bisa melalukan langkah kolaboratif dengan menggandeng beberapa pihak untuk pembiayaan awal dan memberikan pinjaman lunak. Kuncinya ada pada kemauan politik, model tata kelola yang transparan, dan kesediaan pemerintah untuk memperlakukan klub bukan sebagai penyewa, tapi sebagai mitra pembangunan daerah. Sleman tidak kekurangan orang-orang gila bola kok. Jika memang PSS representasi Sleman, mari kita uji klaim itu hari ini. Jangan hanya memberikan gimik-gimik yang banyak tidak terbukti ajiannya.
Padahal, kalau mau jujur, pemberian lahan atau hak kelola jangka panjang ke klub tidak hanya mungkin, tapi juga logis secara sosial dan ekonomi. Sleman bukan tidak punya tanah. Pemerintah daerah menguasai cukup banyak lahan tidur atau eks aset yang mangkrak. Memberikan tanah dengan status BOT (bangun-operasi-transfer) misalnya, tidak akan membuat APBD jebol. Justru menimbulkan multiplier effect.
Seharusnya, PSS sudah di tataran jenuh (bukan nyaman) sebagai penyewa. Ada banyak kerugian selaku penyewa yang dirasakan selama ini. Yang paling baru, peristiwa degradasi musim lalu. Bagaimana proyek revonasi stadion yang dilakukan ditengah musim dan selesai tidak sesuai jadwal, merenggut PSS dari divisi teratas. Proyek renovasi tersebut juga tidak terlalu melibatkan banyak pihak dan tidak banyak belajar dari Tragedi Kanjuruhan. Di Inggris pasca Tragedi Hillsborough 1989, terjadi banyak revolusi infrastruktur stadion. Stadion setelahnya tidak lagi dipandang sekadar arena tontonan massal dan menyadarkan akan pentingnya stadion yang aman, layak, dan manusiawi. Lebih dari sekedar renovasi fisik, perubahan pasca-Hillsborough juga memicu pergeseran makna stadion itu sendiri: dari ruang industrial yang keras dan eksklusif, menjadi ruang sipil yang inklusif dan multiguna. Timbul konsep community stadia yang bukan hanya dibangun untuk pertandingan, tetapi juga untuk regenerasi sosial, ekonomi, dan kultural. Satu kunci utama dalam keberhasilan adalah partisipasi. Stadion yang hanya dibangun oleh elite politik dan pengusaha tak akan pernah benar-benar dimiliki oleh masyarakat. Sebaliknya, stadion komunitas hadir dari dialog antara klub, pemerintah, komunitas lokal, dan suporter. Stadion bukan lagi proyek mercusuar yang dibangun di balik meja dinas, melainkan hasil dari obrolan panjang di balai warga, rapat komunitas, hingga desakan dari fans yang lelah terus jadi konsumen pasif.
Klub yang tidak memiliki stadion sendiri atau minimal diberikan sewa jangka panjang akan bergantung pada fasilitas milik pemerintah daerah. Ketergantungan ini membuat klub tidak stabil, sulit membangun identitas lokal, dan terbatas dalam mengembangkan pendapatan mandiri. Di Cina, banyak klub profesional menghilang karena tak punya akar lokal, lemahnya dukungan institusional lokal, dan ketergantungan pada investor. Dalam periode 1994–2021, tercatat 52 kali relokasi klub, yang sebagian besar dipicu oleh insentif fiskal, akses pasar baru, dan pergantian pemilik. Absennya regulasi ketat di awal profesionalisasi liga juga membuat relokasi lintas provinsi marak, hingga akhirnya dibatasi pasca-2016. Fenomena ini menunjukkan rapuhnya akar komunitas dan identitas lokal dalam struktur sepak bola Tiongkok (Li et al., 2024).
Maka dari itu, kejadian beruntun akhir-akhir ini menyadarkan kita tentang gagasan membangun ‘rumah sendiri’. Rumah yang dapat menyehatkan sirkulasi keuangan klub agar lebih sehat dan mandiri. Rumah sebagai identitas dan warisan. Rumah di mana Dion dan kawan-kawan dapat menambah porsi latihan tanpa takut habis jam sewa seperti pemain-pemain di Eropa. Bukan rumah keropos, estetik di luar tapi rapuh di dalam. Yang biasanya, proyek-proyek pembangunan dan renovasi stadion Pemerintah terbongkar kasus korupsi setelahnya.
Sumber Referensi :
Bunds, K. S., McLeod, C. M., Barrett, M., Newman, J. I., & Koenigstorfer, J. (2019). The object-oriented politics of stadium sustainability: A case study of SC Freiburg. Sustainability, 11(23), 6712.Jones, C., & Jordan, D. (2019). Agglomeration, urbanization and competitive performance: the natural experiment of English football. Regional Studies, Regional Science, 6(1), 421–438.
Lekakis, N. (2019). The Urban Politics of Juventus’ New Football Stadium. Articulo – Revue de Sciences Humaines.
Li, D., Lin, C., Cheng, M., Leng, T., & Yang, S. (2024). Analysis of the spatio-temporal distribution of Chinese professional football clubs and influential factors based on empirical evidence of clubs. Scientific Reports, 14(1).
McTier, A. J. (2020). The emergence and conceptualisation of community stadia in the UK. Local Economy: The Journal of the Local Economy Policy Unit, 35(8), 747–767.
Rebeggiani, L. (2006). Public Vs. Private Spending for Sports Facilities – the Case of Germany 2006. Public Finance and Management, 6(3), 395–435.
Szymanski, S., & Smith, R. (1997). The English Football Industry: profit, performance and industrial structure. International Review of Applied Economics, 11(1), 135–153.
Sebagai wadah pendukung PSS yang berasal dari ragam daerah, atau bahkan beberap tumbuh besar di luar lingkup Sleman dan sekitarnya sedari kecil, kami menilai~
We've decided our stance, for PSS Sleman.
Menelisik di balik movement Gate of Joy. Oleh NN-SJ
Between a crucial stage of life. Oleh NN-SJ.
“I’m gonna love you till the heaven stops the rain”. oleh Joawofelix.
SEKALI BAJINGAN, TETAP BAJINGAN! oleh SJ-NN
“kami akan selalu ingat, bagaimana kami bisa lupa?” oleh AP
kami tak datang membawa amarah, kami datang membawa tanya.
oleh Ceria
Kita tak akan kalah lagi. Tak boleh kalah lagi. oleh Tribun Utara
Hari ini, mari kita bicara tentang tiga warna itu: pink, hijau, dan biru.