Mengukir Cinta di Tanah Jepara


Memutar kembali ingatan pada 9 Desember 2016, PSS Sleman, sebuah klub kabupaten bertandang ke Jepara setelah mighty run di liga membawa mereka ke babak 8 besar ISC-B melawan Perserang. Aku dan teman-teman sekolah memutuskan untuk berangkat dengan modal kenekatan. Sebenarnya, hari itu adalah hari terakhir ujian sekolah. Pagi itu kami berkumpul demi menjalani laga tandang. Sewajarnya nekat bocah SMA, pikiran tentu belum diulur panjang. Meninggalkan ujian demi sepakbola adalah satu dari sekian pilihan yang seharusnya diambil terakhir. Yang tidak pernah diantisipasi bocah nekat adalah apa-apa yang tidak dalam rencana mereka. Guru mengirimkan surat panggilan ke rumah kami semua untuk membatalkan rencana mendukung PSS dan mendatangi hari terakhir ujian. Belakangan ketahuan, mobil yang kami rental adalah mobil milik guru kami sendiri. Terlanjur basah, perjalanan tetap dilanjutkan. Konsekuensi urusan sekolah menjadi hal lain hari itu. PSS dulu, yang lain kemudian. Hujan turun sore itu dan seluruh stadion bertahan di bawah guyur hujan. Hari sial tidak ada di kalender kata orang-orang, sayangnya hari sial tak datang saat itu. PSS Sleman menang 3–2 dan lanjut ke babak semifinal. Tentang ujian? itu urusan kemudian.

Empat hari berselang sejak ujian yang tertunda (akhirnya kami boleh ujian susulan hari berikutnya — wek wek wek) adalah hari semifinal terjadi. Pengalaman amuk guru di laga sebelumnya dan keberuntungan kami untuk tetap bisa mengikuti ujian sepertinya tidak akan terjadi lagi di laga Jepara kedua. Niatan untuk berangkat di laga semifinal sama sekali belum lahir. Justru, dengan mantap saya memutuskan untuk tidak perlu repot bertandang. Di tengah adrenalin yang sepi tantangan, saya terlibat obrolan dengan kakak saya sendiri di teras rumah. Membahas tentang PSS Sleman adalah upaya menumbuhkan kenekatan modal nggambleh. Sebenarnya saya tau, kakak juga tidak punya cukup uang untuk menyewa mobil, saya pun begitu. Tapi kenekatan selalu bisa dipicu oleh keterdesakan. Setelah obrolan panjang, dengan menimbang sisa isi dompet dan pertaruhan waktu, entah siapa yang memulai “menyang wae yo, mangkat isuk motoran.” (”berangkat saja, ya? berangkat pagi naik motor”.)

Seolah setuju tanpa anggukan kepala, esoknya kami berdua sudah membaca Google Maps dengan tujuan mengarah ke stadion. Resiko kali ini akhirnya lebih terasa lagi karena waktu sudah mepet dan sisa isi dompet tinggal jatah bensin dan 2 bungkus penthol. Satu jam sebelum kick off kami tiba di parkiran stadion, jauh dari rumah. Nyanyi-nyanyi lantang sudah terkumandang dari dalam. Detak jantung menjadi lebih cepat dari biasanya, rasa terburu-buru berubah menjadi teriak-teriak kemenangan yang membawa langkah kaki cepat-cepat ingin masuk. Di tambahan waktu babak akhir, Busari mencetak gol lewat sundulan. Dalam sisa detik pertandingan, tiket menuju final ISC-B sudah dikantongi PSS Sleman. Saya menoleh pada kakak, begitu pun dia mencari ekspresi saya. “Ra kroso le kesel.” (”capeknya tidak terasa”.)

Final ISC-B direncanakan dihelat di Surakarta. Dari segi finansial, keberangkatan ke Surakarta lebih bisa diupayakan daripada laga-laga tandang sebelumnya. Partai besar macam ini menjanjikan euforia yang tidak kira-kira. Beberapa hari sebelum laga dihelat, laga final dipindah ke Jepara. Kembali seluruh suporter Super Elang Jawa bertandang ke kota ukir. Tiga hari dalam 2 pekan, bukan hanya keuangan yang mulai lemah, fisik juga sudah mulai peyok. Tagar #GrudukJepara tersiar bagi seluruh pendukung. Tak kurang, 10.000 pendukung berangkat ke partai final. Dua kemenangan sebelumnya di stadion yang sama memupuk harapan besar PSS Sleman akan bermain gemilang sekali lagi. Keberangkatan rombongan yang semula direncakan menggunakan bak terbuka, berubah menjadi bis-bis yang siap memboyong pemuda-pemuda kabupaten.

Hari keberangkatan itu, langit Sleman adalah yang paling cerah sepulau Jawa. Harapan-harapan kejayaan mengambang di atas rombongan penjelajah kota (meminjam istilah dari Over Distortion). Keinginan menjadi juara, membawa pulang piala, menjadi yang terhebat seantero liga, adalah samar-samar kalimat doa sepanjang jalan. Dendang-dendang semangat tak henti sepanjang jalan. Semua orang bernyanyi dengan ceria.

Stadion Gelora Bumi Kartini kali ketiga, PSS Sleman bermain dalam tekanan sekalipun beberapa serangan dan pola-pola menyerang terjadi dalam tensi tinggi. Ini yang kami, para suporter, tidak sadari sebelumnya. Sepakbola berbalas gol ternyata tidak sama serunya dengan yang dulu kami lihat di televisi. Sepakbola-sepakbola Eropa yang sarat keahlian, menarik untuk ditonton dalam frame, kita menikmati kiper yang kesusahan menjaga gawangnya dan memungut bola yang terdorong masuk jala kali kesekian dalam satu partai. Bagi kami di Gelora Bumi Kartini malam itu, gol-gol yang tercipta adalah naik turun tempo detak jantung. Setiap kali PSS Sleman bisa menyamakan kedudukan, nyanyi lantang kembali terjadi, tetapi terbalas dengan gol dari PSCS berikutnya adalah letih yang tiba-tiba masuk ke sendi-sendi. Tentu hasil akhir kekalahan 4–3 adalah kecewa berat bagi semua orang yang mendukung PSS Sleman.

Setelah melalui petualangan yang dirangkum dalam 3 babak itu, bagi saya hasil menang dan kalah adalah lempar koin di udara. Sisanya adalah perjudian tentang harapan, doa, dan upaya. Angka atau kepala yang jatuh di permukaan tanah sudah menjadi takdir dari bola yang bergulir di 2 kali 45 menit plus plus. Namun kenekatan dan keputusan-keputusan sumbu pendek adalah manifestasi cinta yang saya sendiri tidak pernah bisa sadari kenapa itu semua terjadi. Sampai hari ini, catatan-catatan perjalanan mengawal Super Elang Jawa menjadi pengalaman yang dibungkus segala rasa: manis, asam, bahkan pahit sekalipun.

Satu hal untuk menutup ini, PSS Sleman satu untuk selamanya.

 

 

Ditulis oleh EA bersama Tonggos Darurat. Dirilis dalam bentuk fisik pada “Bounce Back Lads #2 : persib vs PSS” (28/10/23)

Share Article :

Related Article

Other Articles

Kemarau Satu Abad dibalas Hujan Satu Hari

Pernahkah terlintas di pikiran kalian tentang mengapa kalian mencintai sesuatu sekalipun kalian tak pernah menemukan apa alasannya? Kita sama.

No One Likes Us, We Don’t Care

Berita-berita mengenai PSS Sleman dan orang-orang di sekitarnya -siapapun itu- kerap hinggap di media sosial akhir-akhir ini.