Mengukir Cinta di Tanah Jepara
Memutar kembali ingatan pada 9 Desember 2016, PSS Sleman, sebuah klub kabupaten bertandang ke Jepara setelah mighty run di liga membawa mereka ke babak 8 besar
Pernahkah terlintas di pikiran kalian tentang mengapa kalian mencintai sesuatu sekalipun kalian tak pernah menemukan apa alasannya? Kita sama. Cinta itu rumit sekaligus sulit untuk dipikir dengan akal sehat. Cinta itu melelahkan, menyakitkan, namun candu yang tak berujung. Segala ilmu pengetahuan masih sulit menjabarkan apa definisi cinta yang sesungguhnya. Jutaan bahasa, miliyaran kalimat, dan bahkan sekalipun manusia menemukan 3 triliun kata pun tidak akan pernah bisa menjelaskan bagaimana cinta bekerja. Anehnya, PSS Sleman adalah pengandaian yang sempurna atas semua kebingungan itu. Perasaan itu, ada dan jatuh padanya.
“Aku dulu suka PSS karena ayah ngajak nonton.”
“Mulai cinta PSS karena membangkitkan memori bahagiaku yang hilang puluhan tahun”
“Mulai suka PSS karena ngikutin BCS”
“Diajakin sama orang di kampungku ikut rombongan Slemania, eh keterusan suka sama PSS”
Setiap orang yang berdiri dan bernyanyi untuk PSS punya alasannya sendiri mengapa mereka akhirnya ada di tribun. Semua permulaan itu bisa menjadi obrolan panjang di tengah malam. Setiap orang dengan awal mulanya masing-masing akan menjadi topik yang menarik tanpa perlu jadi soal, terlebih lagi dibandingkan. Kenapa gitu? Karena kita hanya bisa memikirkan tentang masa kini. Masa lalu? tak akan pernah bisa diubah. Masa depan? Tidak ada yang tahu. Kita semua setara. Semua orang berhak mencintai PSS sejak kapanpun, sejak apapun, dan sejak bagaimanapun. Toh, orang yang cinta PSS akhirnya juga bukan hanya dari Sleman. Lagian muara kita juga masih sama, PSS dan dunia yang mengitarinya, kan?
“PSS lho kerep kalahan, ngopo to sih do gelem nonton?”
(”PSS kan sering kalah, kenapa pada masih ingin nonton?”)
Kalah, ternyata bukan sinonim dari kata benci, pun kalah bukan lawan kata cinta. Bagaimana hasil terukir di papan skor pasca peluit panjang tidak membuat perasaan berubah. Kadang kecewa, atau malu, atau marah dengan hasil pertandingan yang tidak kita mau sudah menjadi kewajaran di antara beribu manusia yang menyaksikan pertandingan. Lagipula, manusia diciptakan Tuhan dengan bakat keras kepala, di sepakbola mungkin bakat itu terasah dengan sungguh-sungguh.
Menggunakan PSS sebagai pengandaian cinta yang sempurna itu bukan hanya diksi ngasal yang terucap. Puluhan kali kita bersitegang dengan pengurus, ratusan kali luapan kekecewaan kita lakukan, bertikai hingga memenuhi jalan, serta materi, waktu, dan karir juga tak jarang menjadi korban atas betapa butanya kita hanya karena PSS. Sedangkan PSS? Lebih sering begitu-begitu aja, kan? PSS will never be a fair trade. (PSS tidak akan pernah menjadi sebuah timbal balik yang adil.) Entah kalimat “we make history” yang sering kita gaungkan itu adalah bentuk pengharapan, atau hanya penenang yang di dalamnya mungkin terdapat dusta. Semoga sih jangan, lah.
Kita masih tak terlalu mengerti bagaimana cara cinta bekerja. Teriakan gol demi gol, kemenangan dan poin tiga, memandang 11 orang di tengah lapangan berselebrasi dengan cara menempuh perjalanan ratusan bahkan ribuan kilometer dari “rumah”, mengangkat gelas dan memekikkan telinga tetangga, mungkin menjadi bukti bahwa PSS sama candunya seperti Alkohol dan Marijuana. Bagaimana tidak, momen-momen itulah yang mengaburkan fakta bahwa PSS pernah di masa sulit, penuh dengan tren-negatif yang mungkin kalau dipikir-pikir, sepertinya harapan itu tak akan terwujud. Masa sulit PSS adalah ladang gersang yang memaksa kita bertahan di kerongkongan yang haus. Beberapa tanaman mungkin menyerah dan layu, tapi tak sedikit rumput yang bertahan menunggu hujan. Entah kapan terjadi, mimpi yang digelorakan ribuan penggemar bisa jadi menggambarkan kemarau satu abad yang dibalas dengan hujan satu hari. Di masa itu terjadi, kuharap kalian masih bersamaku di lingkaran yang sama.
Semua perayaan akan terus menjadi harapan. Merasa bangga ketika PSS berjaya, tak pernah berhenti percaya ketika mereka imbang, dan terus berdiri di barisan ketika mereka terjungkal. Lilin-lilin kecil inilah yang menjadi kekuatan untuk PSS bangun dari jatuhnya, merangkak, berjalan, dan akhirnya berlari menuju tujuan yang kita impikan. Semoga perasaan ini tetap hidup dan tetap terjaga seperti kita pertama kali mulai jatuh cinta pada PSS Sleman.
“The club choose you, and it’s forever.” kata Noel Gallagher
Ditulis oleh RM bersama Tonggos Darurat. Dirilis dalam bentuk fisik pada “Bounce Back Lads #2 : persib vs PSS” (28/10/23)
Memutar kembali ingatan pada 9 Desember 2016, PSS Sleman, sebuah klub kabupaten bertandang ke Jepara setelah mighty run di liga membawa mereka ke babak 8 besar
Berita-berita mengenai PSS Sleman dan orang-orang di sekitarnya -siapapun itu- kerap hinggap di media sosial akhir-akhir ini.